Realitas dalam Dunia Eko Nugroho

| Rifky Effendy

Realitas dalam Dunia Eko Nugroho

Realitas Dalam Dunia Eko Nugroho | Rifky Effendy

The following Indonesian translation of 'Reality in the World of Eko Nugroho' has been published for the first time with permission from Rifky Effendy.

 + Realitas dalam Eko Nugroho Rifky Effindy p. 129.

Eko Nugroho adalah salah satu seniman muda Indonesia yang paling sukses di awal tahun 2000-an. Karyanya—lukisan, mural, komik, bordir, patung, dan instalasi yang dipamerkan di museum dan galeri di seluruh Asia dan Eropa, di Australia dan Amerika Serikat—memiliki karakter yang unik dan saat ini mempengaruhi praktik seni visual kontemporer di negaranya sendiri.

Nugroho memulai karir seninya dengan baik pada tahun 2000, saat ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Sebagai pendiri utama Daging Tumbuh (DGTMB),1 sebuah kelompok mahasiswa yang sebagian besar berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) yang membuat komik-komik unik, nama Nugroho semakin dikenal seiring dengan berkembangnya profil DGTMB. Komik DGTMB memiliki format yang berbeda dari yang lain. Komik-komik tersebut tidak bercerita secara linear, melainkan kompilasi dari beberapa narasi pendek yang dikumpulkan dari para kontributor di beberapa kota seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, serta dari kelompok-kelompok seni lainnya. Jumlah komik DGTMB yang diproduksi memang sedikit, namun para pembeli diperbolehkan untuk membuat dan mendistribusikan fotokopinya sendiri, sebuah proses yang bertentangan dengan undang-undang hak cipta percetakan dan penerbitan, sehingga membuat kelompok DGTMB, khususnya Nugroho, menjadi lebih menonjol.

Karya-karya Nugroho sendiri diwarnai dengan humor gelap dan dipenuhi dengan gambar-gambar figuratif yang aneh—kepala dengan cerobong asap, topeng binatang, tangan yang dibentuk seperti gunting atau berubah bentuk dengan cara lain, dan kaki dengan roda, semuanya merupakan simbol dari identitas manusia yang menjadi tidak sempurna, bermutasi menjadi makhluk setengah manusia setengah mesin karena pengaruh dari luar. Gambar-gambar ini seringkali disajikan secara berurutan, dengan balon-balon teks yang lucu dan penuh dengan makna ganda. Karya-karya Nugroho sering kali menyindir secara tajam, dengan kesegaran ekspresi yang menarik, dan penuh dengan bentuk-bentuk lucu yang mengundang eksplorasi lebih dalam.

 + Realitas dalam Eko Nugroho Rifky Effindy p. 130.
 + Realitas dalam Eko Nugroho Rifky Effindy p. 131.

Humor adalah andalan dalam teater wayang Jawa, dan terfokus pada karakter punakawan Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam pewayangan Bali, punakawannya adalah Tualen dan Merdah (punggawa Pandawa) serta Delem dan Sangut (punggawa Kurawa). Dalam teater wayang kulit, punakawan adalah abdi dan penjaga yang setia yang umumnya muncul pada segmen goro-goro yang tidak hanya berisi lelucon dan unsur humor lainnya, tetapi juga nasihat bijak dan pesan moral. Peran punakawan dalam teater wayang telah menginspirasi banyak seniman, yang menggunakan tokoh-tokoh seperti punakawan untuk menyalurkan kritik terhadap penguasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya-karya Heri Dono atau pertunjukan Teater Koma, yang menggunakan humor untuk mengolok-olok mereka yang berkuasa.

Karya Nugroho jauh lebih menusuk ke dalam hati nurani publik ketika ia memadukan komedi dan seni jalanan untuk menyampaikan pesan-pesan tentang isu-isu sosial kontemporer. Ia juga selalu mempertimbangkan konteks ruang dan waktu dalam menciptakan karya-karyanya, seolah-olah tidak hanya mengamati, tetapi benar-benar berdialog dengan lingkungan sekitarnya. Sering menggunakan elemen-elemen teks satir yang bersifat politis untuk mengomentari kejadian-kejadian di sekitarnya, visual milik Nugroho tetap konsisten, terlihat dari figur-figur manusia yang tampak ganjil, dan objek-objek patung yang muncul seolah-olah merupakan proyeksi dari identitas pribadi Nugroho.

Hasilnya, karya-karya Nugroho dipenuhi dengan simbol-simbol jenaka yang melintasi berbagai disiplin ilmu dan budaya dengan kekuatan antar-tekstur, bentuk dan teks yang muncul dalam konteks yang berbeda, karena penggunaan bahasanya yang tidak mengikuti struktur formal dan cenderung puitis dan liris. Hal ini mencerminkan eksposur Nugroho terhadap bahasa sehari-hari dan pemanfaatannya yang berasal dari bahasa daerah, dialog komik, dialog film, lirik lagu, dan sebagainya, yang kesemuanya telah meninggalkan jejak pada budaya populer.

Pada suatu kesempatan di tahun 2005, Nugroho berkomentar bahwa kategorisasi karya-karyanya tidak jelas. Apakah itu komik atau bukan? Hal ini tergantung dari sudut pandang penikmatnya. Ternyata, Nugroho diundang untuk membagikan karya-karyanya di acara-acara seni visual dan pertemuan para pembuat komik dan animator video. Diterima oleh berbagai komunitas kreatif, sikap artistiknya mirip dengan seniman yang lebih senior, Heri Dono, di mana mereka berdua menggunakan bentuk artistik dari disiplin ilmu lain, seperti musik dan seni pertunjukan.

Bersama kelompok Apotik Komik di Yogyakarta pada tahun 2000, Eko Nugroho berkesempatan untuk mengeksplorasi penciptaan komik alternatif dan seni jalanan. Ia kemudian melibatkan diri dalam proyek-proyek mural, yang hasilnya masih dapat dilihat di berbagai tempat di seluruh kota. Pada tahun 2004 ia mengikuti residensi di Amsterdam Graphics Atelier, setelah sebelumnya mengikuti pameran di Rumah Seni Cemeti.

Bentuk dan teks muncul dalam konteks yang berbeda-beda. Penggunaan bahasa Nugroho tidak mengikuti struktur formal dan cenderung puitis dan liris. Hal ini mencerminkan eksposur Nugroho terhadap bahasa sehari-hari dan pemanfaatannya yang berasal dari bahasa lokal. Ada juga teks dialog komik, dialog dari film, dan lirik dari lagu-lagu—yang semuanya telah meninggalkan jejak pada budaya populer.

Seiring berjalannya waktu, karya-karya Nugroho telah dipamerkan di dalam dan luar negeri. Pada tahun 2006, ia diundang untuk berpartisipasi dalam Asia Pacific Triennial of Contemporary Art ke-5 (2006-07) di Queensland Art Gallery/Gallery of Modern Art, Brisbane, dan pada tahun yang sama ia tampil dalam 'Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art' (2007) di Kiasma Museum of Contemporary Art di Helsinki. Kemudian, pada tahun 2012, ia mengadakan pameran tunggal 'Temoin Hybride (Hybrid Witness)' di Musée d'Art Moderne di Paris. Di sini Nugroho menampilkan totalitas dirinya sebagai seniman dengan instalasi yang terdiri dari mural, patung, lukisan, dan tekstil bersulam yang memenuhi seluruh ruangan, serta dinding dari lantai hingga langit-langit, dengan warna-warna yang memikat. Pada tahun yang sama, ia mengadakan pameran bersama dengan Jompet Kuswidananto, 'RALLY: Contemporary Indonesian Art', di Galeri Nasional Victoria, Melbourne. Pada tahun 2013, ia termasuk salah satu dari lima seniman yang tergabung dalam Paviliun Indonesia di Venice Biennale ke-55.

Nugroho tidak hanya menggunakan komik sebagai idiom, tetapi juga mengekspresikan dirinya melalui lukisan, patung, mural, dan media baru seperti video animasi. Ia juga berkolaborasi dengan seniman-seniman yang aktif dalam berbagai disiplin ilmu, dimana ia melihat elemen komunikasi sebagai hal yang sangat penting dalam pendekatan konseptual, metode dan karya seninya. Ia menjelaskan proses di balik pembuatan jaringan ini:

Sebagai contoh, ketika saya membuat mural, saya harus memahami situasi keseluruhan dari tempat di mana mural tersebut akan dibuat; saya harus mengenal orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Namun, hal ini tergantung pada berapa banyak waktu yang saya miliki. Jika waktu yang dialokasikan sangat minim, saya akan langsung memproduksi mural dengan harapan dapat berkomunikasi dalam skala yang lebih kecil.2

Kecenderungan untuk berkomunikasi ini mungkin berkontribusi pada penerimaan karya Nugroho di banyak kalangan.

 + Realitas dalam Eko Nugroho Rifky Effindy p. 132.
 + Realitas dalam Eko Nugroho Rifky Effindy p. 133.

Ciri eksperimental lain dari praktik Nugroho adalah bordir. Awalnya, ia tertarik dengan lambang-lambang bordir yang dipakai oleh anggota geng jalanan di jaket, celana jins, dan celana lainnya. Ia juga mencatat bahwa bordir banyak digunakan oleh institusi formal seperti polisi, pegawai negeri dan sekolah, dan kemudian memahami maknanya sebagai ekspresi identitas, baik personal maupun kolektif. Nugroho pernah menjelaskan bahwa ia menggunakan penjahit untuk membuat elemen-elemen bordir pada karya-karyanya, dengan mengatakan “Awalnya saya kesulitan menemukan penjahit yang dapat mengerjakan apa yang saya butuhkan; kebanyakan penjahit hanya dapat mengerjakan motif-motif sederhana dan cenderung mengulang-ulangnya.”3 Pada akhirnya ia dapat ’mengajari‘ penjahit tersebut untuk membuat bordir yang ia ciptakan dalam benaknya, dan kini ia menggabungkan benang yang kaya dengan figur-figurnya yang aneh tetapi familiar, perspektif yang datar tetapi dalam, serta elemen-elemen lain seperti kawat untuk ’memahat' di atas bidang dua dimensi secara efektif. Karya-karya ini merepresentasikan jalinan dari berbagai macam karya Nugroho—buku komik, humor satir, transformasi, mutasi, dan kriya sebagai seni—untuk membentuk praktik artistik yang tak tentu, berlapis-lapis, dan mewah.

Venice Biennale ke-55, Paviliun Indonesia, 1 Juni - 2 November 2013. 


Notes

Semua karya seni yang mengilustrasikan halaman ARTAND ditampilkan dalam konteks artikel aslinya. Gambar tidak boleh diambil atau diterbitkan ulang tanpa seizin para seniman atau pemegang hak cipta. Untuk informasi lebih lanjut tentang karya seni terlampir, silakan hubungi seniman terkait.

Rifky Effendy adalah kurator Indonesia Pavilion dalam Venice Biennale yang ke-55 (2013). Pada tahun 2009, ia turut mendirikan Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Bersama para kurator dan seniman, Rifky mendirikan ruang karya PLATFORM3 di Bandung pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 di Jakarta mendirikan Inkubatorasia, sebuah ruang  yang didedikasikan untuk mempromosikan seniman-seniman kontemporer baru.

1. Edisi DGTMB pertama diterbitkan pada bulan Juni 2000.

2. ‘Interview with Eko Nugroho’, di Tuula Karjalainen and Marja Sakari (eds), Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art, Kiasma Museum of Contemporary Art, Helsinki, 2007.

3. Rifky Effendy, artiel untuk VISUAL ARTS, Jakarta, no. 22, 2008.

Image Captions

p. 130: Temoin hybride, 2012, Tampilan instalasi, Musée d'Art Moderne, Paris Courtesy SAM Art Projects, Foto dan © seniman.

p. 131: Menghasut Badai-badai, 2012, Bambu, wadah minyak, resin serat, baja tahan karat, plastik, kulit imitasi, batik, kayu jati, pemutar DVD portabel, ukuran sekitar 400 x 400 x 400 cm, Foto Oki Permatasari, Hak cipta atas foto oleh seniman.

p. 132: Creamy policy, 2010, Akrilik di atas kanvas, 200 x 150 cm, Koleksi pribadi, Jakarta, Atas seizin seniman dan Ark Galerie, Jakarta, © Eko Nugroho.

Reality In The World Of Eko Nugroho | Rifky Effendy

Reality in the World of Eko Nugroho


Reality in the World of Eko Nugroho

Eko Nugroho is one of Indonesia’s most successful young artists of the early-2000s generation. His work—paintings, murals, comics, embroidery, sculpture and installations, shown in museums and galleries across Asia and Europe, in Australia and the United States—has a unique character and today influences contemporary visual art practices within his own country.

Nugroho made a solid start on his art career in 2000, when he was still a student. As the main founder of Daging Tumbuh (DGTMB),1 a group of students, most from the Indonesian Art Institute (ISI), who create unique comics, Nugroho’s recognition grew as the profile of DGTMB developed. DGTMB comics have a format unlike anything else. They don’t tell linear stories; most are compilations of several short narrations collected from contributors in a number of cities, such as Yogyakarta, Bandung and Jakarta, as well as from other art groups. The number of DGTMB comics produced was small, but buyers were allowed to make and distribute their own photocopies, a process that ran counter to printing and publishing copyright laws, making the DGTMB group, Nugroho in particular, stand out.

Nugroho’s own artworks are coloured by dark humour and filled with strange figurative images—heads with smokestacks, animal masks, hands shaped like scissors or deformed in some other way, and legs with wheels, all symbols of a human identity that has become imperfect, mutated into half-human/hall-machine creatures by outside influences. Frequently these images are presented in sequence, with balloons of humorous text full of double meanings. Nugroho’s works are often sharply insinuative, with an attractive freshness of expression, and full of funny forms that invite close exploration.

Humour is a mainstay of Javanese wayang puppet theatre, and is focused in the punakawan (clown) characters Semar, Gareng, Bagong and Petruk. In Balinese wayang puppetry, the punakawan are Malern and Merdah (Pandawa faction retainers) and Delem and Sangut (Kurawa faction retainers). In leather puppet theatre, the punakawan are faithful servants and caretakers who generally appear during the goro-goro segments that contain not only jokes and other humorous elements, but also sage advice and moral instruction. The role of the punakawan in puppet theatre has inspired many artists, who use punakawan-like figures to channel criticism about the authorities. This can be seen clearly in the works of Heri Dono or the performances of Koma Theatre, which use humour to poke fun at those in power.

Nugroho’s work jabs much more deeply into the public conscience when he mixes comedy and street art to convey messages about contemporary social issues. He also always considers the contexts of space and time when creating his works, as if not just observing, but actually immersing himself in a dialogue with his immediate environment. Often employing elements of satirical texts, which are political in nature, to comment on the happenings around him, Nugroho’s visuals are consistent, as seen in the distinctly odd human figures, and sculptural objects emerge that seem to be projections of Nugroho’s own individual identity.

As a result, Nugroho’s works are layered with playful symbols that cut across disciplines and cultures with inter-textural strength, forms and texts emerge in differing contexts, as his use of language does not adhere to any formal structure and tends to be poetic, lyrical. This reflects Nugroho’s exposure to and drawing on colloquialisms derived from local languages, the text dialogues of comics, lines from films, lyrics from songs - all of which have left a mark on popular culture.

On one occasion in 2005 Nugroho commented that categorisation of his works was indeterminate. Were they or were they not comics? This would depend on the standpoint of the viewer. As it turns out, Nugroho is invited to share his works at both visual-art events and gatherings of comics makers and video animators. Accepted by a variety of creative communities, his artistic stance is similar to that of a more senior artist, Heri Dono, in that they both use artistic forms from other disciplines, such as music and the performing arts.

With the Apotik Komik group in Yogyakarta in 2000 Eko Nugroho had the opportunity to explore alternative comic creation and street art. He then involved himself in mural projects, the results of which can still be seen in various places throughout the city. In 2004 he took up a residency at Amsterdam Graphics Atelier, after having participated in an exhibition at Rumah Seni Cemeti (Cemeti Art House).

Forms and texts emerge in differing contexts. As his use of language does not adhere to any formal structure and tends to be poetic, lyrical. This reflects Nugroho’s exposure to and drawing on colloquialisms derived from local languages. The text dialogues of comics, lines from films. Lyrics from songs - all of which have left a mark on popular culture.

Over time, Nugroho’s works have been displayed both locally and internationally. In 2006 he was invited to participate in the 5th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (2006-07) at the Queensland Art Gallery/Gallery of Modern Art, Brisbane, and in the same year he featured in ‘Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art’ (2007) at Kiasma Museum of Contemporary Art in Helsinki. Then, in 2012, he held a solo exhibition, ‘Temoin Hybride (Hybrid Witness)’, at the Musée d’Art Moderne in Paris. Here Nugroho presented the totality of himself as an artist with an installation comprising murals, sculptures, paintings and embroidered textiles, filling the entire space, and the walls from floor to ceiling, with enticing colours. That same year, he held a joint exhibition with Jompet Kuswidananto, ‘RALLY: Contemporary Indonesian Art’, at the National Gallery of Victoria, Melbourne. In 2013, he is among a group of five artists included at the Indonesian Pavilion at the 55th Venice Biennale.

Nugroho not only uses comics as an idiom, but expresses himself through painting, sculptures, murals and new media such as video animation. He also collaborates with artists active in various disciplines, seeing the elements of communication as pivotal to his conceptual approach, his methods and his artworks. He explained the process behind creating these networks:

For example, when I create a mural, I must understand the overall situation of the place where the mural will be; I have to get to know the people who live in that area. However, this depends on how much time I have. If the time allocated is minimal, I will go straight to producing the mural with the hope of communicating on a smaller scale.2

This penchant for communication may contribute to the acceptance of Nugroho’s work in so many circles.

Another experimental characteristic of Nugroho’s practice is embroidery. Initially, he was interested in the embroidered emblems that members of street gangs sport on their jackets, jeans and other pants. He also noted that embroidery was widely used by formal institutions like the police, the civil service and schools, and came to understand its significance as an expression of identity, either personal or collective. Nugroho once explained that he used a tailor to produce the embroidered elements of his works, saying At first it was a hassle to find someone who could do what I needed; most tailors can only do simple motifs and tend to repeat them.’3 Eventually he was able to ‘teach’ the tailor to produce the kind of embroidery he had created in his mind, and now he combines rich thread with his strange yet familiar figures, flattened but deep perspective and other elements such as wire, to effectively ‘sculpt’ on a two-dimensional plane. These works represent the weaving together of all Nugroho’s varied strands -comic books, satirical humour, transformation, mutation, and craft as art - to form an indeterminate, layered and sumptuous artistic practice.

55th Venice Biennale, Indonesian Pavilion, 1 June - 2 November 2013.


Notes

Translated into English by Margaret Agusta.

All artwork illustrating the pages of ARTAND are provided in context of the original article. Images should not be extracted or republished without prior permissions from the artists or rights holders. For more information about the artwork, please contact the artists.

The following biography was provided for Rifky in the frontmatter for this issue: 'Rifky Effendy is Curator of the 55th Venice Biennale (2013) Indonesian Pavilion. In 2009 he co-founded the Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Along with fellow curators and artists, Rifky established the Bandung-based art space PLATFORM3 in 2009, and in 2010 formed Inkubatorasia, a Jakarta-based space dedicated to promoting emerging contemporary artists.'

Endnotes

1. The first DGTMB edition was published in June 2000.

2. ‘Interview with Eko Nugroho’, in Tuula Karjalainen and Marja Sakari (eds), Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art, Kiasma Museum of Contemporary Art, Helsinki, 2007.

3. Rifky Effendy, article for VISUAL ARTS, Jakarta, no. 22, 2008.

Image Captions

p. 130: Temoin hybride (Hybrid witness), 2012, Installation view, Musée d’Art Moderne, Paris Courtesy SAM Art Projects, Photograph and © the artist.

p. 131: Menghasut Badai-badai (Instigator of storms), 2012, Bamboo, oil containers, fibre resin, stainless steel, plastics, imitated leather, batik, teakwood, portable DVD player, approx. 400 x 400 x 400 cm, Photograph Oki Permatasari, Image courtesy the artist.

p. 132: Creamy policy, 2010, Acrylic on canvas, 200 x 150 cm, Private collection, Jakarta, Courtesy the artist and Ark Galerie, Jakarta, © Eko Nugroho.


Links & Info