The following Indonesian translation of 'Reality in the World of Eko Nugroho' has been published for the first time with permission from Rifky Effendy.
Eko Nugroho adalah salah satu seniman muda Indonesia yang paling sukses di awal tahun 2000-an. Karyanya—lukisan, mural, komik, bordir, patung, dan instalasi yang dipamerkan di museum dan galeri di seluruh Asia dan Eropa, di Australia dan Amerika Serikat—memiliki karakter yang unik dan saat ini mempengaruhi praktik seni visual kontemporer di negaranya sendiri.
Nugroho memulai karir seninya dengan baik pada tahun 2000, saat ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Sebagai pendiri utama Daging Tumbuh (DGTMB),1 sebuah kelompok mahasiswa yang sebagian besar berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) yang membuat komik-komik unik, nama Nugroho semakin dikenal seiring dengan berkembangnya profil DGTMB. Komik DGTMB memiliki format yang berbeda dari yang lain. Komik-komik tersebut tidak bercerita secara linear, melainkan kompilasi dari beberapa narasi pendek yang dikumpulkan dari para kontributor di beberapa kota seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, serta dari kelompok-kelompok seni lainnya. Jumlah komik DGTMB yang diproduksi memang sedikit, namun para pembeli diperbolehkan untuk membuat dan mendistribusikan fotokopinya sendiri, sebuah proses yang bertentangan dengan undang-undang hak cipta percetakan dan penerbitan, sehingga membuat kelompok DGTMB, khususnya Nugroho, menjadi lebih menonjol.
Karya-karya Nugroho sendiri diwarnai dengan humor gelap dan dipenuhi dengan gambar-gambar figuratif yang aneh—kepala dengan cerobong asap, topeng binatang, tangan yang dibentuk seperti gunting atau berubah bentuk dengan cara lain, dan kaki dengan roda, semuanya merupakan simbol dari identitas manusia yang menjadi tidak sempurna, bermutasi menjadi makhluk setengah manusia setengah mesin karena pengaruh dari luar. Gambar-gambar ini seringkali disajikan secara berurutan, dengan balon-balon teks yang lucu dan penuh dengan makna ganda. Karya-karya Nugroho sering kali menyindir secara tajam, dengan kesegaran ekspresi yang menarik, dan penuh dengan bentuk-bentuk lucu yang mengundang eksplorasi lebih dalam.
Humor adalah andalan dalam teater wayang Jawa, dan terfokus pada karakter punakawan Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam pewayangan Bali, punakawannya adalah Tualen dan Merdah (punggawa Pandawa) serta Delem dan Sangut (punggawa Kurawa). Dalam teater wayang kulit, punakawan adalah abdi dan penjaga yang setia yang umumnya muncul pada segmen goro-goro yang tidak hanya berisi lelucon dan unsur humor lainnya, tetapi juga nasihat bijak dan pesan moral. Peran punakawan dalam teater wayang telah menginspirasi banyak seniman, yang menggunakan tokoh-tokoh seperti punakawan untuk menyalurkan kritik terhadap penguasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya-karya Heri Dono atau pertunjukan Teater Koma, yang menggunakan humor untuk mengolok-olok mereka yang berkuasa.
Karya Nugroho jauh lebih menusuk ke dalam hati nurani publik ketika ia memadukan komedi dan seni jalanan untuk menyampaikan pesan-pesan tentang isu-isu sosial kontemporer. Ia juga selalu mempertimbangkan konteks ruang dan waktu dalam menciptakan karya-karyanya, seolah-olah tidak hanya mengamati, tetapi benar-benar berdialog dengan lingkungan sekitarnya. Sering menggunakan elemen-elemen teks satir yang bersifat politis untuk mengomentari kejadian-kejadian di sekitarnya, visual milik Nugroho tetap konsisten, terlihat dari figur-figur manusia yang tampak ganjil, dan objek-objek patung yang muncul seolah-olah merupakan proyeksi dari identitas pribadi Nugroho.
Hasilnya, karya-karya Nugroho dipenuhi dengan simbol-simbol jenaka yang melintasi berbagai disiplin ilmu dan budaya dengan kekuatan antar-tekstur, bentuk dan teks yang muncul dalam konteks yang berbeda, karena penggunaan bahasanya yang tidak mengikuti struktur formal dan cenderung puitis dan liris. Hal ini mencerminkan eksposur Nugroho terhadap bahasa sehari-hari dan pemanfaatannya yang berasal dari bahasa daerah, dialog komik, dialog film, lirik lagu, dan sebagainya, yang kesemuanya telah meninggalkan jejak pada budaya populer.
Pada suatu kesempatan di tahun 2005, Nugroho berkomentar bahwa kategorisasi karya-karyanya tidak jelas. Apakah itu komik atau bukan? Hal ini tergantung dari sudut pandang penikmatnya. Ternyata, Nugroho diundang untuk membagikan karya-karyanya di acara-acara seni visual dan pertemuan para pembuat komik dan animator video. Diterima oleh berbagai komunitas kreatif, sikap artistiknya mirip dengan seniman yang lebih senior, Heri Dono, di mana mereka berdua menggunakan bentuk artistik dari disiplin ilmu lain, seperti musik dan seni pertunjukan.
Bersama kelompok Apotik Komik di Yogyakarta pada tahun 2000, Eko Nugroho berkesempatan untuk mengeksplorasi penciptaan komik alternatif dan seni jalanan. Ia kemudian melibatkan diri dalam proyek-proyek mural, yang hasilnya masih dapat dilihat di berbagai tempat di seluruh kota. Pada tahun 2004 ia mengikuti residensi di Amsterdam Graphics Atelier, setelah sebelumnya mengikuti pameran di Rumah Seni Cemeti.
Bentuk dan teks muncul dalam konteks yang berbeda-beda. Penggunaan bahasa Nugroho tidak mengikuti struktur formal dan cenderung puitis dan liris. Hal ini mencerminkan eksposur Nugroho terhadap bahasa sehari-hari dan pemanfaatannya yang berasal dari bahasa lokal. Ada juga teks dialog komik, dialog dari film, dan lirik dari lagu-lagu—yang semuanya telah meninggalkan jejak pada budaya populer.
Seiring berjalannya waktu, karya-karya Nugroho telah dipamerkan di dalam dan luar negeri. Pada tahun 2006, ia diundang untuk berpartisipasi dalam Asia Pacific Triennial of Contemporary Art ke-5 (2006-07) di Queensland Art Gallery/Gallery of Modern Art, Brisbane, dan pada tahun yang sama ia tampil dalam 'Wind from the East: Perspectives on Asian Contemporary Art' (2007) di Kiasma Museum of Contemporary Art di Helsinki. Kemudian, pada tahun 2012, ia mengadakan pameran tunggal 'Temoin Hybride (Hybrid Witness)' di Musée d'Art Moderne di Paris. Di sini Nugroho menampilkan totalitas dirinya sebagai seniman dengan instalasi yang terdiri dari mural, patung, lukisan, dan tekstil bersulam yang memenuhi seluruh ruangan, serta dinding dari lantai hingga langit-langit, dengan warna-warna yang memikat. Pada tahun yang sama, ia mengadakan pameran bersama dengan Jompet Kuswidananto, 'RALLY: Contemporary Indonesian Art', di Galeri Nasional Victoria, Melbourne. Pada tahun 2013, ia termasuk salah satu dari lima seniman yang tergabung dalam Paviliun Indonesia di Venice Biennale ke-55.
Nugroho tidak hanya menggunakan komik sebagai idiom, tetapi juga mengekspresikan dirinya melalui lukisan, patung, mural, dan media baru seperti video animasi. Ia juga berkolaborasi dengan seniman-seniman yang aktif dalam berbagai disiplin ilmu, dimana ia melihat elemen komunikasi sebagai hal yang sangat penting dalam pendekatan konseptual, metode dan karya seninya. Ia menjelaskan proses di balik pembuatan jaringan ini:
Sebagai contoh, ketika saya membuat mural, saya harus memahami situasi keseluruhan dari tempat di mana mural tersebut akan dibuat; saya harus mengenal orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Namun, hal ini tergantung pada berapa banyak waktu yang saya miliki. Jika waktu yang dialokasikan sangat minim, saya akan langsung memproduksi mural dengan harapan dapat berkomunikasi dalam skala yang lebih kecil.2
Kecenderungan untuk berkomunikasi ini mungkin berkontribusi pada penerimaan karya Nugroho di banyak kalangan.
Ciri eksperimental lain dari praktik Nugroho adalah bordir. Awalnya, ia tertarik dengan lambang-lambang bordir yang dipakai oleh anggota geng jalanan di jaket, celana jins, dan celana lainnya. Ia juga mencatat bahwa bordir banyak digunakan oleh institusi formal seperti polisi, pegawai negeri dan sekolah, dan kemudian memahami maknanya sebagai ekspresi identitas, baik personal maupun kolektif. Nugroho pernah menjelaskan bahwa ia menggunakan penjahit untuk membuat elemen-elemen bordir pada karya-karyanya, dengan mengatakan “Awalnya saya kesulitan menemukan penjahit yang dapat mengerjakan apa yang saya butuhkan; kebanyakan penjahit hanya dapat mengerjakan motif-motif sederhana dan cenderung mengulang-ulangnya.”3 Pada akhirnya ia dapat ’mengajari‘ penjahit tersebut untuk membuat bordir yang ia ciptakan dalam benaknya, dan kini ia menggabungkan benang yang kaya dengan figur-figurnya yang aneh tetapi familiar, perspektif yang datar tetapi dalam, serta elemen-elemen lain seperti kawat untuk ’memahat' di atas bidang dua dimensi secara efektif. Karya-karya ini merepresentasikan jalinan dari berbagai macam karya Nugroho—buku komik, humor satir, transformasi, mutasi, dan kriya sebagai seni—untuk membentuk praktik artistik yang tak tentu, berlapis-lapis, dan mewah.
Venice Biennale ke-55, Paviliun Indonesia, 1 Juni - 2 November 2013.